Monday, October 8, 2018

Malamku dengan Tuhan


Terdengar suara notifikasi "ting tong" memecah kesunyian malamku. Malam yang selalu sunyi. Malam yang selalu berbeda dengan malam-malam orang lain. Malam dimana mataku dipaksa selalu terbuka, otakku berkelana mencari titik hentinya, dan tanganku berpegang pada mouse kecil di sisi kanannya. Kudekati handphone itu dan kubaca pesan dari sang malam. “nang mbah Ru gerah, iki lagi dirawat nang RST”. Ya.. itu sedikit pesan yang membuat hatiku bergejolak. Itu adalah pesan dari ibuku yang meberitahu bahwa nenekku (namanya Ru) sakit dan sedang dirawat di Rumah Sakit. Sangat terpukul dengan segala keadaan itu. Bukan tentang sakit yang nenekku derita. Tapi tak tau mengapa ini lebih dari sekedar permasalahan “sakit”. Aku letakkan Hp dan kutatap kembali monitor lenovo kesayanganku. Tanganku kembali memegang mouse dan kucoba semakin meliarkan otakku untuk mencari konsep desain dari proyek yang sedang kukerjakan. Otakku terus kesana kemari, terus mecari dan berfikir keras dan akhirnya tak satupun ide ditemuinya. Malam itu begitu menjadi malam yang buruk dari malam sebelumnya. Kuambil rokok dan sedikit menghisapnya. Secangkir kopi yang telah dingin kuteguk dan mencoba sedikit santai. Kuhentikan otakku dalam pencariannya. Kupejamkan mataku dan kunikmati penyakit dari setiap asap rokok yang masuk bersama nafasku. Aku mencoba melupakan semuanya, pekerjaanku, masalahku, dan juga masalah nenekku yang sedang dirawat di rumah sakit.
Menitpun berganti dan kurasa rokokku telah mencapai batas yang dapat kunikmati. Hanya sepuntung rokoklah yang selama ini dapat menemani dan menghilangkan sedikit stress dalam hidupku. Yaah,, kutahu itu sugesti buruk yang aku rasakan, tapi setidakknya itu menolong dalam kesendirianku. Pekerjaan ku sebagai seorang desainer dan salah satu pengajar salah satu lembaga pendidikan memang telah cukup menghabiskan siang dan malamku. Setidaknya itu telah sedikit mencuri waktuku yang mungkin tak akan berharga jika aku tak melakukan pekerjaan itu. Saat matahari mulai menampakkan panasnya, saat itu juga teman-teman dan anak-anakku berusaha mencari ilmu-ilmu Tuhan dalam sebuah keluarga di pondokan kecil. Aku tidak  menyebutkannya sebuah sekolah, bukan berarti aku tidak menganggap itu sebuah lembaga pendidikan. Aku lebih suka itu adalah keluarga yang saling memberitahu dan menuntun sebagai lembaga pendidikan yang akan menuntun untuk mencapai Tuhan. Disitulah aku dan temanku menghabiskan waktu sampai matahari meninggalkan kami terlebih dahulu.
Jika malam datang, kadang aku masih bersama temanku dipondokan kecil itu dan sedikit berbicara tentang ilmu Tuhan yang lain. Mungkin ilmu yang lebih spesifik membawa kami lebih mengenal Tuhan kami. Setelah sebagian besar orang orang di lingkungan kami bergelut dengan guling mereka, saat itulah aku berada dalam wujud lain. Bukanlah seorang yang bergelut dengan ilmu, melainkan seorang yang berambisi mewujudkan mimpi keluargannya. Disaat mereka memeluk mimpinya saat itulah aku juga ingin memeluk mimpi orang tuaku yang menginginkan aku menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakatku. Dari mimpi mereka aku mempunyai janji pada diriku sendiri untuk mengentaskan kemiskinan tempat di mana aku dilahirkan. Aku berusaha mencari janji Tuhan yang akan memberikan rizki pada setiap hambanya melalui malamku. Kulalui malam untuk mencari janji Tuhan itu dan juga bentuk usahaku untuk menepati janji pada diriku. Malam yang aku harap selalu mendukungku dalam mencapai mimpi itu tak kutemukan di malam itu. Pikiranku bagai menemuai lorong buntu tak bercahaya. Tak menemukan ide apapun dan malah memikirkan kondisi dan harapan nenek dengan Tuhannya. Beberapa tahun yang lalu nenekku telah melakukan kesepakatan dengan Tuhannya untuk segera berziarah ke BaitNya. Malam itu aku mendengar bahwa nenekku dirawat dirumah sakit. Kekhawatiran yang ada dalam benakku menjenuhkan otak dan mengeruhkan semuanya.
Dengan kondisi malam yang tidak mendukung itu, aku putuskan untuk mematikan monitor didepanku dan bergegas untuk menemui Tuhan dalam doaku. Kuambil air dan kuusap wajah, tangan dan kakiku. Kakiku berjalan menuju tempat dimana temanku mencurahkan masalah kepada Tuhannya di sana. Aku bersimpuh dan bersujud dalam ruang gelap itu. Keheningan malam dan suara alam menemani keinginanku untuk menemui Tuhanku. Aku yakin Tuhan Maha Tahu dengan apa yang aku rasakan. Aku menceritan semua pada Tuhanku. Lidahku mengucapkan semua yang dirasakan oleh hati. Perasaan sedih dan kekhawatiran itu, keadaan rumit yang aku hadapi, janji-janji serta semua mimpi yang masih terasa jauh untuk kugapai membuat mata ini tak kuat membendung deras airnya. Betapa bodohnya aku selama ini menyia-nyiakan waktu dan tidak bergegas untuk bercengkerama dengan Tuhanku. Aku terlupakan dengan semua hiruk pikuk dunia. Mimpiku, mimpi orang tuaku, impian mereka, janjiku, janji nenekku dan semua yang berhubungan dengan pekerjaanku selama ini. Aku sungguh salah jika itu adalah jalan yang benar, karena selama ini aku lupa mengajak Tuhanku untuk berkordinasi denganNya, sedangkan Dia Maha Tahu dan Berkehendak. Bukankah saat Dia berkehendak maka kehendak kita tak berarti? Mataku semakin tidak bisa membendung air mata atas kesalan besar itu.
Malam itu, Tuhan benar-benar mengutus Maut untuk memberitahu bahwa dia selalu mengintaiku dan menjadikan aku targetnya. Entah kapan, di mana dan bagaimana dia menemuiku menjadi rahasia Tuhanku dan Maut. Mataku semakin tak berdaya menahan air matanya. Sungguh aku dalam kerugian jika hari esok masih bisa kulalui tampa mengingat Tuhanku. Aku bekerja, aku belajar aku melakukan dosa tak luput dari penglihatanNya. Malam itu menjadi malam yang membuat aku sadar bahwa hidupku hanya untuk mengenal Tuhanku. Belum tentu aku bekerja keras di siang hari belajar bersama teman-temanku dan aku dapat melewati malamku dengan monitor dan mousku lagi. Belum tentu aku melewati malamku hari ini dan aku bisa bercengkerama dengan teman-temanku di pondokan itu esok. Belum tentu aku dapat membaca tulisan ini saat aku telah selesai menulisnya. Maut telah mengintaiku dan dia berpesan. “hai kamu, kamu berada dalam intaiku. Persiapkan bekalmu untuk menemuiku jika kamu tidak ingin menyesal saat menemuiku”.
Itu adalah pesan Tuhanku di malam itu. Hari ini aku masih bekerja dan aku sangat bersyukur masih bisa menulis cerita malamku untuk sobat sekalian. Aku tahu ini mungkin pengalaman pribadiku dan mungkin banyak dari sobat juga pernah merasakannya atau ada juga yang belum merasakannya. Aku tak bermaksud untuk mengajak kalian merasakan apa yang aku rasakan, tapi aku merasa harus menulis ini. Aku berharap  tulisan ini bermanfaat. Aku masih meyakini bahwa sebaik baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain. Semoga kita selalu dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain dan selalu ingat akan janji janji kita pada orang lain tampa melupakan janji Tuhan kita dan Maut. Semoga kita diberi umur panjang dan barokah sehingga kita tidak akan menyesal saat kita dipertemukan dengan mautNya.
Amiin ya Robbal Alamin..

Puncak indah "kertojoyo" yang masih "perawan" dari jamahan di perbatasan

hmmmm... yah itulah mungkin yang dapat aku katakan .. Sore itu aku balik dari jogja karena sebab biasa,,, uang saku habis hehe.. pulang am...