Terdengar
suara notifikasi "ting tong" memecah kesunyian malamku. Malam yang
selalu sunyi. Malam yang selalu berbeda dengan malam-malam orang lain. Malam
dimana mataku dipaksa selalu terbuka, otakku berkelana mencari titik hentinya,
dan tanganku berpegang pada mouse kecil di sisi kanannya. Kudekati handphone
itu dan kubaca pesan dari sang malam. “nang mbah Ru gerah, iki lagi dirawat nang
RST”. Ya.. itu sedikit pesan yang membuat hatiku bergejolak. Itu adalah pesan
dari ibuku yang meberitahu bahwa nenekku (namanya Ru) sakit dan sedang dirawat
di Rumah Sakit. Sangat terpukul dengan segala keadaan itu. Bukan tentang sakit
yang nenekku derita. Tapi tak tau mengapa ini lebih dari sekedar permasalahan “sakit”.
Aku letakkan Hp dan kutatap kembali monitor lenovo kesayanganku. Tanganku
kembali memegang mouse dan kucoba semakin meliarkan otakku untuk mencari konsep
desain dari proyek yang sedang kukerjakan. Otakku terus kesana kemari, terus
mecari dan berfikir keras dan akhirnya tak satupun ide ditemuinya. Malam itu
begitu menjadi malam yang buruk dari malam sebelumnya. Kuambil rokok dan
sedikit menghisapnya. Secangkir kopi yang telah dingin kuteguk dan mencoba
sedikit santai. Kuhentikan otakku dalam pencariannya. Kupejamkan mataku dan
kunikmati penyakit dari setiap asap rokok yang masuk bersama nafasku. Aku mencoba
melupakan semuanya, pekerjaanku, masalahku, dan juga masalah nenekku yang
sedang dirawat di rumah sakit.
Menitpun berganti
dan kurasa rokokku telah mencapai batas yang dapat kunikmati. Hanya sepuntung
rokoklah yang selama ini dapat menemani dan menghilangkan sedikit stress dalam
hidupku. Yaah,, kutahu itu sugesti buruk yang aku rasakan, tapi setidakknya itu
menolong dalam kesendirianku. Pekerjaan ku sebagai seorang desainer dan salah
satu pengajar salah satu lembaga pendidikan memang telah cukup menghabiskan
siang dan malamku. Setidaknya itu telah sedikit mencuri waktuku yang mungkin
tak akan berharga jika aku tak melakukan pekerjaan itu. Saat matahari mulai
menampakkan panasnya, saat itu juga teman-teman dan anak-anakku berusaha
mencari ilmu-ilmu Tuhan dalam sebuah keluarga di pondokan kecil. Aku tidak menyebutkannya sebuah sekolah, bukan berarti
aku tidak menganggap itu sebuah lembaga pendidikan. Aku lebih suka itu adalah
keluarga yang saling memberitahu dan menuntun sebagai lembaga pendidikan yang
akan menuntun untuk mencapai Tuhan. Disitulah aku dan temanku menghabiskan
waktu sampai matahari meninggalkan kami terlebih dahulu.
Jika malam
datang, kadang aku masih bersama temanku dipondokan kecil itu dan sedikit
berbicara tentang ilmu Tuhan yang lain. Mungkin ilmu yang lebih spesifik
membawa kami lebih mengenal Tuhan kami. Setelah sebagian besar orang orang di
lingkungan kami bergelut dengan guling mereka, saat itulah aku berada dalam
wujud lain. Bukanlah seorang yang bergelut dengan ilmu, melainkan seorang yang
berambisi mewujudkan mimpi keluargannya. Disaat mereka memeluk mimpinya saat
itulah aku juga ingin memeluk mimpi orang tuaku yang menginginkan aku menjadi
orang yang bermanfaat bagi masyarakatku. Dari mimpi mereka aku mempunyai janji
pada diriku sendiri untuk mengentaskan kemiskinan tempat di mana aku
dilahirkan. Aku berusaha mencari janji Tuhan yang akan memberikan rizki pada
setiap hambanya melalui malamku. Kulalui malam untuk mencari janji Tuhan itu
dan juga bentuk usahaku untuk menepati janji pada diriku. Malam yang aku harap
selalu mendukungku dalam mencapai mimpi itu tak kutemukan di malam itu. Pikiranku
bagai menemuai lorong buntu tak bercahaya. Tak menemukan ide apapun dan malah
memikirkan kondisi dan harapan nenek dengan Tuhannya. Beberapa tahun yang lalu
nenekku telah melakukan kesepakatan dengan Tuhannya untuk segera berziarah ke
BaitNya. Malam itu aku mendengar bahwa nenekku dirawat dirumah sakit. Kekhawatiran
yang ada dalam benakku menjenuhkan otak dan mengeruhkan semuanya.
Dengan kondisi
malam yang tidak mendukung itu, aku putuskan untuk mematikan monitor didepanku
dan bergegas untuk menemui Tuhan dalam doaku. Kuambil air dan kuusap wajah,
tangan dan kakiku. Kakiku berjalan menuju tempat dimana temanku mencurahkan
masalah kepada Tuhannya di sana. Aku bersimpuh dan bersujud dalam ruang gelap
itu. Keheningan malam dan suara alam menemani keinginanku untuk menemui
Tuhanku. Aku yakin Tuhan Maha Tahu dengan apa yang aku rasakan. Aku menceritan
semua pada Tuhanku. Lidahku mengucapkan semua yang dirasakan oleh hati. Perasaan
sedih dan kekhawatiran itu, keadaan rumit yang aku hadapi, janji-janji serta
semua mimpi yang masih terasa jauh untuk kugapai membuat mata ini tak kuat membendung
deras airnya. Betapa bodohnya aku selama ini menyia-nyiakan waktu dan tidak
bergegas untuk bercengkerama dengan Tuhanku. Aku terlupakan dengan semua hiruk
pikuk dunia. Mimpiku, mimpi orang tuaku, impian mereka, janjiku, janji nenekku dan
semua yang berhubungan dengan pekerjaanku selama ini. Aku sungguh salah jika
itu adalah jalan yang benar, karena selama ini aku lupa mengajak Tuhanku untuk
berkordinasi denganNya, sedangkan Dia Maha Tahu dan Berkehendak. Bukankah saat
Dia berkehendak maka kehendak kita tak berarti? Mataku semakin tidak bisa
membendung air mata atas kesalan besar itu.
Malam itu,
Tuhan benar-benar mengutus Maut untuk memberitahu bahwa dia selalu mengintaiku
dan menjadikan aku targetnya. Entah kapan, di mana dan bagaimana dia menemuiku
menjadi rahasia Tuhanku dan Maut. Mataku semakin tak berdaya menahan air
matanya. Sungguh aku dalam kerugian jika hari esok masih bisa kulalui tampa
mengingat Tuhanku. Aku bekerja, aku belajar aku melakukan dosa tak luput dari
penglihatanNya. Malam itu menjadi malam yang membuat aku sadar bahwa hidupku
hanya untuk mengenal Tuhanku. Belum tentu aku bekerja keras di siang hari
belajar bersama teman-temanku dan aku dapat melewati malamku dengan monitor dan
mousku lagi. Belum tentu aku melewati malamku hari ini dan aku bisa bercengkerama
dengan teman-temanku di pondokan itu esok. Belum tentu aku dapat membaca
tulisan ini saat aku telah selesai menulisnya. Maut telah mengintaiku dan dia
berpesan. “hai kamu, kamu berada dalam intaiku. Persiapkan bekalmu untuk
menemuiku jika kamu tidak ingin menyesal saat menemuiku”.
Itu adalah
pesan Tuhanku di malam itu. Hari ini aku masih bekerja dan aku sangat bersyukur
masih bisa menulis cerita malamku untuk sobat sekalian. Aku tahu ini mungkin
pengalaman pribadiku dan mungkin banyak dari sobat juga pernah merasakannya
atau ada juga yang belum merasakannya. Aku tak bermaksud untuk mengajak kalian
merasakan apa yang aku rasakan, tapi aku merasa harus menulis ini. Aku berharap
tulisan ini bermanfaat. Aku masih
meyakini bahwa sebaik baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat untuk
orang lain. Semoga kita selalu dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk
orang lain dan selalu ingat akan janji janji kita pada orang lain tampa
melupakan janji Tuhan kita dan Maut. Semoga kita diberi umur panjang dan
barokah sehingga kita tidak akan menyesal saat kita dipertemukan dengan
mautNya.
Amiin ya
Robbal Alamin..